Minggu, 20 Maret 2016

Tradisi BARZANJI



A.      Latar Belakang
Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW setiap tanggal 12 Rabi’ul Awal senantiasa dirayakan dalam nuansa tradisi budaya lokal yang kental oleh umat Islam di Indonesia. Perayaan hari lahir Nabi atau umat Islam Indonesia menyebutnya sebagai “Mauludan” dirayakan secara beraneka ragam. Diantara berbagai tradisi menyambut Maulid Nabi tersebut yang ada dalam kultur tradisi budaya Islam lokal Indonesia, salah satu tradisi yang menarik dan wajib dilaksanakan oleh kalangan umat muslim adalah pembacaan Kitab Barzanji (orang Jawa secara lisan menyebutnya sebagai ‘Berjanji’ atau ‘Berjanjen’). Barzanji atau sholawat (barzanjen) adalah bentuk kesenian yang bernafaskan Islam atau sebagai sarana dakwah Islam dengan Kitab Barzanji sebagai sumbernya. Kitab Barzanji sendiri adalah karya tulis dari Syekh Ja’far Ibnu Hasan Ibnu Abdul Karim Ibnu Muhammad al Barzanji yang berisi tentang prosa dan sajak yang bertutur tentang biografi Nabi Muhammad SAW, mencakup nasab-nya (silsilah), kehidupannya dari masa kanak-kanak hingga menjadi rasul. Selain itu diceritakan pula berbagai nilai suri tauladan beliau yang patut untuk dicontoh oleh generasi umat Islam Indonesia pada khususnya. Dalam kitab al-Munjid fi al-A’lam halaman 125 disebutkan : “Ja’far Al-Barzanji al- Madani adalah Khathib di Masjid al Haram dan seorang mufti dari kalangan Syafi’iyyah. Wafat di Madinah pada tahun 1177 H/1763M. Di antara karangan beliau adalah Kisah Maulid Nabi”.[1] Adapun dalam pemahaman lainnya, Barzanji merupakan suatu doa-doa, puji-pujian dan penceritaan riwayat Nabi Muhammad SAW yang biasa dilantunkan dengan irama atau nada. Tradisi budaya Islam ini dapat dikategorikan sebagai kelompok seni pertunjukan yang terdiri dari vokal, musik, dan tanpa tari atau gerakan badan. Kelompok dalam kesenian ini cukup banyak lebih dari 20 orang bisa laki-laki ataupun perempuan muda atau dewasa. Kesenian pembacaan barzanji ini pada umumnya ditampilkan pada malam hari dengan posisi berdiri. Bisa dikatakan tradisi barzanji ini mirip dengan seni musik acapella lainnya seperti nasyid yang kini tengah populer, namun berbeda dengan nasyid kini sudah merangkul musik modern sebagai saran dakwah. Tradisi seni barzanji sendiri sangat terikat dengan kultur mengingat barzanji sendiri merupakan syair puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Namun demikian, pembacaan barzanji sebagai tradisi perayaan maulid Nabi hingga kini masih dipertanyakan keabsahannya. Hal ini dikarenakan hukum perayaan maulid itu sendiri masih menjadi perdebatan. Sebagian ulama berpendapat bahwa tradisi barzanji adalah bid’ah, karena dari sisi syar’i tidak ada dasarnya. Sebagian ulama yang berpendapat bahwa pembacaan barzanji dalam rangka peringatan maulid Nabi adalah sunnah karena hal itu akan semakin meningkatkan dan mengamalkan ajaran Islam sebagaimana yang diwasiatkan oleh Nabi Muhammad SAW sendiri.
B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah tradisi seni barzanji?
2.      Bagaimana tradisi barzanji dalam budaya Islam lokal Indonesia?
3.      Bagaimana hukumnya berdiri ketika memperingati maulid Nabi (Barzanji)?











 II. PEMBAHASAN

A.      Sejarah Tradisi Seni Barzanji
            Al-Barzanji atau Berzanji adalah suatu do’a-do’a, puji-pujian dan penceritaan riwayat Nabi Muhammad saw yang biasa dilantunkan dengan irama atau nada. Isi Berzanji bertutur tentang kehidupan Nabi Muhammad saw yakni silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga diangkat menjadi rasul. Didalamnya juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia.
Tradisi pujian kepada Nabi Muhammad SAW. dilanggengkan oleh berbagai kekhalifahan Islam Syi’ah seperti Dinasti Fatimiyah di Mesir yang wajib dinyayikan oleh segenap oleh masyarakatnya manakala perayaan Maulid Nabi tiba pada bulan Rabi’ul Awal. Bagi khalifah dinasti ini, tradisi pujian sendiri diresmikan sebagai tradisi negara maupun sebagai legitimasi politis bahwa dinasti inilah yang merupakan kekhalifahan Islam berdasar garis keturunan Nabi. Selepas Dinasti Fatimiyah tutup usia, tradisi pujian ini kemudian diteruskan oleh Sultan Salahuddin Yusuf al Ayyubi (Saladin) dari Dinasti Bani Ayyub (1174-1193 M atau 570-590 H).[2]
Menurut Sultan Salahuddin, tradisi menyanyikan pujian kepada Rasulullah SAW dapat mempertebal keimanan dan ketakwaan kepada rasulnya sekaligus juga menambah semangat juang meliputi membangkitkan semangat jihad (perjuangan) dan ittihad (persatuan) dalam Perang Salib III melawan Pasukan  Nasrani dari Eropa yang berupaya menduduki Yerusalem. Saladin pula yang menghidupkan tradisi merayakan Maulid Nabi pertama kali pada 184 (580 H) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut.
Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja’far bin Husin bin Abdul Karim bin Muhammad Al – Barzanji. Beliau adalah pengarang kitab Maulid yang termasyur dan terkenal dengan nama Mawlid Al-Barzanji. Karya tulis tersebut sebenarnya berjudul ‘Iqd Al-Jawahir (kalung permata) atau ‘Iqd Al-Jawhar fi Mawlid An-Nabiyyil Azhar. Barzanji sebenarnya adalah nama sebuah tempat di Kurdistan, Barzanj.[3]
Nama Al-Barzanji menjadi populer tahun 1920-an ketika Syaikh Mahmud Al-Barzanji memimpin pemberontakan nasional Kurdi terhadap Inggris yang pada waktu itu menguasai Irak. Syaikh Ja’far al Barzanji juga seorang Qodhi (hakim) dari madzhab Maliki yang bermukim di Madinah merupakan salah seorang keturunan (buyut) dari cendekiawan besar Muhammad bin Abdul Rasul bin Abdul Sayyid al Alwi al Husain al Musawi al Saharzuri al Barzanji (1040-1103 H atau 1630-1691 M), Mufti Agung dari madzhab Syafi’i di Madinah. Sang Mufti (pemberi fatwa) berasal dari Shaharzur, kota kaum Kurdi di Irak, lalu mengembara ke berbagai negeri sebelum bermukim di Kota Sang Nabi.[4] Di sana beliau telah belajar dari ulama-ulama terkenal, diantaranya Syaikh Athaallah Ibnu Ahmad al Azhari, Syaikh Abdul Wahab at Thanthowi al Ahmadi, Syaikh Ahmad al Asybuli. Beliau juga telah diijazahkan oleh sebahagian ulama’, antaranya : Syaikh Muhammad at Thoyib al Fasi, Sayid Muhammad at Thobari, Syaikh Muhammad Ibnu Hasan Al A’jimi, Sayid Musthofa al Bakri, Syaikh Abdullah as Syubrawi al Misri. Syaikh Ja’far al Barzanji, selain dipandang sebagai Mufti, beliau juga menjadi khatib di Masjid Nabawi dan mengajar di dalam masjid yang mulia tersebut. Beliau terkenal bukan saja karena ilmu, akhlak dan taqwanya, tapi juga dengan kekeramatan dan kemakbulan doanya. Penduduk Madinah sering meminta beliau berdo’a untuk hujan pada musim kemarau.
 Dalam kitab tersebut, riwayat Rasulullah disyairkan dengan bahasa yang indah dalam bentuk puisi, prosa dan kasidah yang sangat menarik. Secara garis besar, paparan al Barzanji dapat diringkas sebagai berikut:
Pertama: Silsilah Nabi Muhammad saw adalah: Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qusay bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Fihr bin Malik bin Nadar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudar bin Nizar bin Ma'ad bin Adnan.
Kedua: Kisah masa kanak-kanaknya banyak kelihatan hal luar biasa pada diri Muhammad saw. misalnya malaikat membelah dadanya dan mengeluarkan segala kotoran dari dalamnya.
Ketiga: Kisah masa remajanya, ketika berumur 12 tahun, ia dibawa pamannya berniaga ke Syam (Suriah). Dalam perjalanan pulang. seorang pendeta melihat tanda-tanda kenabian pada dirinya. Pada waktu be6rumur 25 tahun ia melangsungkan pernikahannya dengan Khadijah binti Khuwailid.
Keempat: Kisah saat berumur 40 tahun ia diangkat menjadi rasul. Sejak saat itu ia menyiarkan agama Islam sampai ia berumur 62 tahun dalam dua periode, yakni Mekah dan Madinah. dan meninggal dunia di Madinah sewaktu berumur 62 tahun setelah dakwahnya dianggap sempurna oleh Allah swt.[5]
Dalam narasi kitab tersebut, keagungan akhlak Nabi Muhammad tergambarkan dalam setiap tindakannya sehari-hari. Sekitar umur tiga puluh lima tahun, beliau mampu mendamaikan beberapa kabilah dalam hal peletakan batu Hajar Aswad di Ka’bah. Di tengah masing-masing kabilah yang bersitegang mengaku dirinya yang berhak meletakkan Hajar Aswad, Rasulullah tampil justru tidak mengutamakan dirinya sendiri, melainkan bersikap akomodatif  dengan meminta kepada setiap kabilah untuk memegang setiap ujung sorban yang ia letakkan di atasnya Hajar Aswad. Keempat perwakilan kabilah itu pun lalu mengangkat sorban berisi Hajar Aswad, dan Rasulullah kemudian mengambilnya lalu meletakkannya di Ka’bah. Kisah lainnya seperti pada suatu pengajian seorang sahabat datang terlambat, lalu ia tidak mendapati ruang kosong untuk duduk. Bahkan, ia minta kepada sahabat yang lain untuk menggeser tempat duduknya, namun tak ada satu pun yang mau.
Di tengah kebingungannya, Rasulullah SAW memanggil sahabat tersebut dan memintanya duduk di sampingnya. Namun tidak hanya itu, Rasul kemudian melipat sorbannya lalu memberikannya pada sahabat tersebut untuk dijadikan alas tempat duduk. Melihat keagungan akhlak Nabi tersebut, sahabat itu pun langsung mencium sorban Nabi sebagai tanda baktinya kepadanya.

B.       Tradisi Barzanji dalam Budaya Islam Lokal Indonesia
Masuknya tradisi barzanji ke Indonesia tidak terlepas dari pengaruh orang-orang Persia yang pernah tinggal di Gujarat yang berpaham Syiah yang pertama kali menyebarkan Islam di Indonesia. Pendapat ilmiah yang lain mengatakan bahwa tradisi barzanji sendiri dibawa oleh ulama bermahzab Syafii terutama Syekh Maulana Malik Ibrahim yang dikenal gurunya Wali Songo berasal kawasan Hadramaut (Yaman) dalam menyebarkan Islam di daerah pesisir Sumatera Timur maupun Pantai Utara Jawa yang dikenal amat toleran dan moderat dalam berdakwah dengan mengasimilasikannya dengan tradisi maupun kultur lokal. Seni barzanji kemudian turut menginsipirasi Sunan Kalijaga untuk menciptakan lagu li-ilir maupun tombo ati yang sangat familiar di kalangan pesantren dalam melakukan dakwahnya di kawasan pedalaman Jawa.
Oleh karena itulah, tradisi barzanji ini kemudian berkembang pesat di kalangan pesantren-pesantren yang tersebar di Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Nahdlatul Ulama (NU) yang notabene dianggap sebagai pesantren besar dianggap sebagai organisasi pelestari tradisi ini. Hal ini dikarenakan pengaruh Syi’ah di NU sangat besar dan mendalam. Kebiasaan membaca barzanji atau Diba’i yang menjadi ciri khas masyarakat NU berasal dari tradisi Syi’ah. Makanya kemudian Kiai Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pernah menyebut bahwa salah satu pengaruh tradisi Syiah dalam corak keislaman di Indonesia adalah praktik nyanyian (biasa disebut juga pujian) menjelang salat yang biasa dipraktikkan di kalangan warga nahdliyyin (NU). Nyanyian itu berisi pujian untuk “ahl albait” atau keluarga Nabi, istilah yang sangat populer di kalangan Syiah maupun nahdliyyin. Bunyi nyanyian itu ialah: Li khamsatun uthfi biha, harra al Waba’ al Hathimah, al Mushthafa wa al Murtadla, wa Ibnuahuma wa al Fathimah. Terjemahannya: Aku memiliki lima “jimat” untuk memadamkan epidemi yang mengancam; mereka adalah al Musthafa (yakni Nabi Muhammad), al Murtadla (yakni Ali Ibnu Abi Talib, menantu dan sepupu Nabi), kedua putra Ali (yakni Hasan dan Husein), dan Fatimah (istri Ali). Gus Dur menyebut gejala ini sebagai “Syiah kultural” atau pengaruh Syiah dari segi budaya, bukan dari segi akidah.[6]
Tradisi pembacaan barzanji kepada Rasulullah SAW sebagaimana yang dilakukan oleh kalangan pesantren biasanya dilandaskan kepada pendapat para fuqaha dari mazhab Syafi’i. Ibnu Hajar alAtsqalani, misalnya, menyatakan bahwa tradisi seperti itu menyimpan makna kebajikan. AlSuyuthi juga menunjukkan sikap toleran terhadap produk budaya yang dihasilkan oleh tradisi mengagungkan kelahiran Rasulullah SAW. Sikap kedua fuqaha tadi juga disepakati oleh fuqaha Syafi’I yang lain, seperti Ibnu Hajar alHaytami dan Abu Shamah. Bagi kedua ulama terakhir ini, peringatan Maulid menjadi satu perbuatan (baru) yang paling terpuji (wa min ahsani ma ubtudi-a), jika disertai dengan amal ihsan kemasyarakatan, seperti sadaqah, infaq, serta kegiatan lain yang bernilai ibadah. Mereka percaya bahwa dengan menyanyikan barzanji pada saat perayaan Maulid Nabi akan memperoleh syafaatnya pada hari kiamat kelak. Merayakan atau memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad Saw. yang diisi dengan acara menceritakan kembali kisah-kisah yang berhubungan dengan Nabi Muhammad Saw., mulai detik-detik kelahirannya, tanda-tanda dan mu’jizatnya dihadapan orang banyak disuatu pertemuan itu merupakan salah satu perbuatan bid’ah yang baik (bid’ah hasanah) yang pelaku-pelakunya mendapat pahala, karena memuliakan Rasulullah Saw. melahirkan rasa senang dengan dilahirkannya, dan menghidangkan jamuan makan dan beraneka sedekah dalam acara tersebut semuanya merupakan perbuatan terpuji. Kelahiran Nabi Muhammad Saw. adalah anugerah besar untuk umat manusia ini dari Allah Swt. sebab itu layak kita bersenang.[7]
Kalau kita melihat lirik syair maupun prosa yang terdapat di dalam ktab al-Barzanji, seratus persen isinya memuat biografi, sejarah hidup, dan kehidupan Rasulullah. Demikian pula yang ada di dalam kitab Diba’ dan Burdah. Tiga kitab ini yang berlaku bagi orang NU dalam melakukan ritual mauludiyah atau menyambut kelahiran Rasulullah. Yang satunya khusus puji-pujian untuk Sulthanul Auliyah, Syaikh Abdul Qadir al-Jilany. Akan tetapi, dalam praktiknya, al-Barzanji, ad-Diba’i, Kasidah Burdah, dan Manaqib Syaikh Abdul Qadir al-Jilany sering dibaca ketika ada hajat anak lahir, hajat menantu, khitanan, tingkeban, masalah yang sult dipecahkan, dan masibah yang berlarut-larut. Yang tidak ada maksud lain mohon berkah Rasulullah akan terkabul semua yang dihajatkan. Ummunya acara Barzanji/Diba’an/Burdahan/Manaqiban dilakukan pada malam hari sehabis shalat isya. Akan tetapi, banyak juga warga NU yang mempunyai tradisi kalau acara anak lahir di sore hari, sehabis shalat Ashar, dan bahkan di siang bolong.[8]
Sudah ratusan tahun kitab-kitab itu dipakai. Rupanya belum ada yang menggeser lewat keindahan kalimat-kalimat yang disusunnya sampai sekarang. Bagii yang paham bahasa Arab, tentu untaian kata-katanya sangat memukau. Umumnya, mereka terkesima dengan sifat-sifat Rasulullah yang memang sulit ditiru, indah, menarik dan mengharukan.
Meskipun barzanji sebagai bagian dari tradisi diakui oleh pemerintah, namun sebagian ada yang menilai bahwa tradisi pembacaan kitab barzanji tersebut tidak diatur dalam al Quran dan Hadits secara eksplisit sehingga dianggap bid’ah.
Bid'ah terbagi dua yaitu bid'ah hasanah (bid'ah yang baik) dan bid'ah dalalah (bid'ah sesat). Pemahaman bid’ah hasanah ialah apa saja yang dipandang oleh para imam sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah dalam hal pemanfaatan dan kemaslahatan.[9] Yang menilai bahwa pembacaan barzanji memang tidak ada rujukannya dalam al Quran dan Hadits, namun secara ajarannya tidak bertentangan dalam Islamnya karena mengajak kepada kebajikan yakni meningkatkan iman dan takwa kepada Allah SWT.
C.      Barzanji dalam Domain Budaya Sunnah
Tradisi barzanji bisa dikatakan sebagai ibadah yang sifatnya sunnah dalam kacamata cultural studies karena terdapat berbagai alasan yang melatarbelakanginya, misalnya saja. (1) meningkatkan semangat kecintaan dan pengamalan nilai kesalehan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai uswatun hasanah yang patut dicontoh oleh masyarakat masa kini. Dalam hal ini, terdapat transfer nilainilai luhur yang bisa diambil dari sosok Nabi sendiri untuk bisa diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. (2) merekatkan ukhuwah islamiyah diantara umat muslim karena pergelaran bazanji sendiri selalu melibatkan banyak orang dan massa melihatnya juga banyak sehingga disamping mendapatkan nilai edukasi dari pembacaan tradisi barzanji serta meningkatkan interaksi antar sesama masyarakat. (3) meningkatkan amalan ibadah tertentu bagi individu yang senantiasa membaca barzanji di setiap waktu senggangnya karena barzanji secara langsung menuntun seseorang untuk mengamalkan salah satu poin dalam rukun iman yakni kepada Rasul dan Nabi Allah.[10]
Berikut ini beberapa isi kitab Barzanji yang mencerminkan sifat Tawadhu Nabi MUhammad SAW.
"Nabi SAW sangat pemalu dan tawadlu’, beliau menjahit sandalnya, menambal bajunya, memperah kambingnya dan melayani keluarganya dengan dirinya.  Beliau mencintai orang- orang faqir miskin, duduk bersama mereka, membesuk mereka yang sedang sakit, mengiring jenazah mereka, dan tidak pernah menghina orang faqir yang terbakar oleh kefakirannya.  Beliau mengampuni orang lain, tidak menghadapi seseorang dengan sesuatu yang ia benci, dan berjalan dengan para janda dan budak. Beliau sama sekali tidak takut pada raja dan marah karena Alloh dan ridlo karena di situ ada ridlo Alloh. Beliau berjalan di belakang para Sahabatnya dan berkata pada merteka, “Biarkan di belakangku ada para Malaikat yang halus !.” Beliau berkendara onta, kuda, bighol, dan himar ( keledai ) yang di hadiahkan oleh sebagian raja pada beliau. Beliau membalutkan batu pada perutnya karena saking laparnya, padahal beliau telah di beri kunci- kunci ekonomi dunia. Pernah pada suatu saat, gunung- gunung menawarkan padanya untuk berubah menjadi emas, namun beliau menolaknya."[11]
Secara garis besar, barzanji sebagai ritus budaya memang berkembang pesat di kalangan pesantren, kalangan nahdlyyin, kalangan Islam tradisionalis, maupun kalangan Islam kejawen. Hal ini dikarenakan tradisi barzanji sebagaimana dengan tradisi maulud lainnya secara umum merupakan bentuk dari ajaran syiah kultural yakni menghormati dan mengenang peran dan jasa Nabi Muhammad SAW, shahabat, dan keturunannya yang berjasa menyebarkan Islam sebagai agama rahmatal lil alamin kepada semesta dalam bentuk ekspresi kebudayaan maupun produk budaya. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa pembacaan barzanji sebagai wujud cinta kepada Rasul merupakan kewajiban bagi semua umat Islam. Sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits Nabi: “Tidak sempurna iman seseorang sehingga aku menjadi orang yang paling dicintainya dari pada anaknya, orang tuanya dan manusia semuanya” (HR. Bukhari).[12]
Konstruksi sunnah dalam barzanji adalah baik dan sangat dianjurkan karena hal itu tidak bertentangan sama sekali dengan nilai-nilai ajaran al Quran dan Hadits secara literer. Pembacaan tradisi barzanji yang selama ini dilakukan baik dalam bulan Maulud, maupun event-event tertentu dengan membaca tiga sumber utama al Barzanji, al Diba’ atau Syaraf al Anam diorientasikan pada aspek dakwah dan sosial dengan tujuan menggairahkan kehidupan beragama dalam keluarga, masyarakat, dan meningkatkan penghayatan dan pengamalan ajaran agama. Kegiatannya bervariasi sesuai kebutuhan dan orientasi lembaga pelaksananya, antara lain ceramah, lomba, diskusi/seminar, khitanan massal, pengobatan gratis, pasar murah (bazar), dan berkunjung ke panti asuhan. Maka sebenarnya tradisi barzanji itu adalah sunnah karena mengajak pada peningkatan aspek-aspek kehidupan sosial bagi masyarakat. Meskipun barzanji secara tidak langsung menjadi produk budaya esklusif pada empat golongan tersebut sebagai identitas, namun pada praktiknya barzanji sendiri sebenarnya adalah inklusif karena terdapat proses deliberasi budaya yang berlangsung di sana.
Dimensi sunnah dalam kacamata budaya pada barzanji tidak terlihat dalam dimensi sosial saja, namun juga berfungsi sebagai ajang peningkatan religiositas yang mendorong adanya sikap kesalehan sosial yang dicontohkan kepada Nabi untuk ditiru umatnya tentang Beraneka lagu-lagu lembut dan berwarna seperti dalam pembacaan barzanji berfungsi sebagai sarana pendidikan akhlak. Kondisi semacam ini mutlak bagi kalangan pesantren dan nahdliyyin dimana barzanji bersama shalawatan, wirid, dan lain sebagainya merupakan upaya melestarikan tradisi budaya yang berkembang semasa Nabi Muhammad SAW hidup untuk diteruskan hingga sekarang ini. Hal inilah yang menjadikan alasan barzanji hidup dan berkembang di kalangan Islam tradisionalis karena semata-mata hal itu merupakan bentuk sunnah bahwa melestarikan tradisi Nabi adalah baik disesuaikan dengan ajaran al Quran dan Hadits sehingga tidaklah relevan kalau menyebut barzanji itu menyimpang karena itu sudah ada sejak zaman Nabi dan diperbolehkan oleh Nabi sendiri sebagai bentuk ekspresi budaya untuk mencintai Allah dan Rasul-Nya. Maka dari itulah, upacara pembacaan barzanji merupakan ritus religius dan dimaksudkan untuk ibadah yakni taqarrub ilallah yakni menjalin hubungan dekat dengan Allah SWT untuk mendapatkan ridha-Nya. Barzanji sebagai produk budaya kuasa kalangan tradisionalis lebih mengajak pada pengamalan ajaran Islam melalui dimensi riil kehidupan sosialnya yang tidak hanya terpaku pada ajaran leksikal al Quran dan Hadits saja yang bagi sebagian umat sangatlah kaku dan konservatif sehingga melalui tradisi barzanji maupun tradisi lainnya yang berkembang pada zaman Nabi, kedua ajaran tersebut didinamiskan melalui ekspresi budaya. Dan bagi kalangan tradisionalis itu adalah sunnah karena mengamalkan ajaran Islam dalam keseharian.
D.      Berdiri Ketika Memperingati Maulid Nabi (Barzanji)
Di tengah acara Diba’an atau Berzanjen ada ritual berdiri. “Sirakalan” orang Jawa menyebutnya, dari kalimat “ asyraqal badru alaina”, di mana kalau sudah sampai di situ semua hadirin dimohon berdiri. Berdiri karena kehadiran Nabi Muhammad di tengah-tengah mejelis. Ada juga yang menyebutnya sebagai “marhabanan” dari kalimat “marhaban” yang artinya “selamat datang” atas kehadiran nabi kita. Menurut keputusan Muktamar NU ke-5 1930 di Pekalongan, berdiri ketika Berzanjen/Diba’an hukumnya sunnah, ia termasuk ‘uruf syar’i.
Dalil yang di pakai, pertama:
“Tersebut dalam sebuah atsar: Rasulullah pernah bersabda: siapa membuat sejarah orang-orang mukmin (yang sudah meninggal) sama artinya menghidupkannya kembali; siapa membacakan sejarahnya seolah-olah ia sedang mengunjunginya, Allah akan memberinya syurga.
Dalil kedua:
“Rasulullah bersabda: Tidaklah suatu majelis orang banyak di mana orang-orangnya berkumpul tanpa berdzikir kepada Allah, melainkan mereka itu bagaikan bangkai khimar yang berserakan, dan majelis itu hanya akan membawa kerugian bagi mereka (HR. Ahmad dalam Musnad-nya, dari Abu Hurairah. As-Suyuthi menilai: hadits ini shahih).
Dalil ketiga:
“Dalam kitab Hikam dipaparkan: Kalau engkau menjumpai di dirimu ada rasa bosan, lalu engkau membuat variasi dengan beragam “ketaatan”; ini merupakan rahmat dan kemudahan bagimu. Sebab, dengan begitu, bila engkau bosan dari yang satu dapat pindah ke yang lain. Jika hanya satu macam saja, tentu dirimu akan bosan dan lekas meninggalkannya. Berbeda jika ketaatan itu beragam, hal ini akan membuat ringan dan nyaman bagimu untuk berpindah dari yang satu ke yang lain. Dan, sudah menjadi kecendrungan jiwa seseorang untuk tidak dapat tetap pada satu posisi saja, sebaliknya akan suka berpindah. Tidakkah jika seorang yang hanya makan makanan satu jenis, tentu mudah jemu sebagaimana yang dialami oleh Bani Israil?”
Demikian pula dalam hal “berdiri”, misalnya ketika membaca Maulid Nabi; walaupun bid’ah hukumnya, tidaklah mengapa karena orang-orang yang melakukan itu hanya sebagai penghormatan kepada dia, Nabi Muhammad.
“selama ini dinilai baik melakukan shalawat sambil berdiri sebagai penghormatan terhadap Nabi. Hal tersebut berdasarkan pada pendapat Imam an-Nawawi yang menganggap berdiri untuk menghormati seorang yang punya keutamaan adalah bagian dari amal sunnahn jika dilakukan tidak untuk riya (pamer).[13]
Ash-Sharimul Mubid:
“Berdiri (pada kala membaca kisah maulid Nabi saw.) walaupun merupakan perbuatan bid’ah yang tidak ada satu Hadits-pun yang menerangkannya, hanya saja umat Islam melakukan hal itu adalah semata-mata sebagai ta’zhim (penghormatan) kepada Nabi Besar Muhammad saw., sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya al-Fatawal Haditsiya, bahwa berdiri itu dilakukan sebagai kebaikan karena ta’zhim kepada-Nya. Hal itu dilakukan oleh umumnya al-biladul Islamiyah (masyarakat Islam) berdasar atas pandangan an-Nawawi bahwa berdiri untuk menyambut ahlul fadl (orang yang mulia) sebagai penghormatan, bukan karena riya”.[14]
























III. PENUTUP
A.      Simpulan
Hal yang dapat kita simpulkan dalam makalah ini adalah studi barzanji berikut perdebatan mengenai keabsahan tradisi mauludan yang selama ini berkembang dalam masyarakat muslim Indonesia, janganlah ditempatkan dalam perdebatan teologis yang berujung pada debat kusir yang tiada henti. Harus diakui bahwa barzanji sebagai salah satu bentuk dari tradisi mauludan memang berakar dari Syiah kultural. Namun jangan sampai karena ada pengaruh kultural Syiah dalam barzanji kemudian ditafsirkan sebagai entitas yang bid’ah dan menyimpang dari ajaran agama Islam. Mendudukan antara yang sunnah dan bid’ah dalam menilai sebuah produk budaya jangan di ruang kontestasi Sunni Syiah karena keduanya memiliki akar filsafat, teologis, dan sejarah yang berbeda pula. Antara sunnah dan bid’ah tidaklah dianalisis dalam ruang hitam-putih yang justru menimbulkan pretense stereotif kepada salah satu mahzab keagamaan. Namun sunnah dan bid’ah sebagai dikotomi yang saling mengoreksi dan melengkapi satu sama lain. Barzanji sebagai karya sastra merupakan analisis baru dalam kajian budaya yang tentunya masih harus mengkorelasikan referensi dengan ilmu teologis dan tarbiyah. Penulis menantikan saran dan kritikan terhadap karya sejenis di masa depan.
B.       Saran
Mari kita meletakkan vonis bid’ah ini dalam rangka sebagai kritik sastra dan bukan sebagai kritik teologis yang berujung debat kusir tiada henti. Adapun kritikisme budaya yang dibangun dalam paradigma bid’ah oleh para kalangan Islam modernis ini bersumber pada tiga hal yakni (1) berdasarkan pada pemikiran yang bersumber secara text books dari al Quran dan Hadits sehingga corak pemikiran kritisnya lebih konservatif dan kaku, (2) memusatkan kepada peneguhan ibadah dalam wilayah simbol agama dan ritual, sehingga produk budaya yang tidak termasuk dalam wilayah tersebut adalah bid’ah (3) kritikan cenderung monolong yakni dalam satu arah dan bukan dialogis yang dua arah.
DAFTAR PUSTAKA
            Abdul Fattah, Munawir. Tradisi Orang-orang NU. PT. LkiS Printing Cemerlang. Yogyakarta. 2012
            Al-Habib Zainal Abidin bin Ibrahim. Tanya Jawab Akidah Ahlussunnah wal Jamaah. Khalista. Surabaya. 2009.
            Abdusshomad, Muhyiddin. Fiqh Tradisinalis. Khalista. Surabaya. 2004
            Utsman, A. Hafizh. Hasil-hasil Keputusan Muktamar dan Permusyawaratan Lainnya. Lajnah Taklif  wan Nasyr Pengurus Besar Nahdatul Ulama. Jakarta. 2010.
http://www.academia.edu/3813569/Tradisi_Sunnah_dan_Bidah_Analisa_Barzanji_dalam_Perspektif_Cultural_Studies
            http://warkopmbahlalar.com/224/terjemah-al-barzanji-halal-di-copas
            http://www.sarkub.com/2013/sejarah-al-barzanji



                [1] KH. Muhyiddin Abdusshomad,Fiqh Tradisinalis, (Cet. III; Surabaya: Khalista, 2005), h.300
                [2]http://www.academia.edu/3813569/Tradisi_Sunnah_dan_Bidah_Analisa_Barzanji_dalam_Perspektif_Cultural_Studies (13/10/2014)
                [3] http://www.sarkub.com/2013/sejarah-al-barzanji (23/11/2014)
                [4]http://www.academia.edu/3813569/Tradisi_Sunnah_dan_Bidah_Analisa_Barzanji_dalam_Perspektif_Cultural_Studies (13/10/2014)
                [5]http://www.academia.edu/3813569/Tradisi_Sunnah_dan_Bidah_Analisa_Barzanji_dalam_Perspektif_Cultural_Studies (13/10/2014)
                [6]http://www.academia.edu/3813569/Tradisi_Sunnah_dan_Bidah_Analisa_Barzanji_dalam_Perspektif_Cultural_Studies (13/10/2014)
                [7] Al-Habib Zainal Abidin bin Ibrahim,Tanya Jawab Akidah Ahlussunnah wal Jamaah, (Cet.I; Surabaya: Khalista, 2009), h.157
                8 H. Munawir Abdul Fattah, Tradisi Orang-orang NU, (Cet. IX; Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2012), h.302
                [9] Al-Habib Zainal Abidin bin Ibrahim,Tanya Jawab Akidah Ahlussunnah wal Jamaah, (Cet.I; Surabaya: Khalista, 2009, h.50
                [10]http://www.academia.edu/3813569/Tradisi_Sunnah_dan_Bidah_Analisa_Barzanji_dalam_Perspektif_Cultural_Studies (13/10/2014)
                [11] http://warkopmbahlalar.com/224/terjemah-al-barzanji-halal-di-copas (25/11/2014)
                [12]http://www.academia.edu/3813569/Tradisi_Sunnah_dan_Bidah_Analisa_Barzanji_dalam_Perspektif_Cultural_Studies (13/10/2014)
                [13] H. Munawir Abdul Fattah, Tradisi Orang-orang NU, (Cet. IX; Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2012), h.302-306
                [14] Drs. KH. A. Hafizh Utsman,Hasil-hasil Keputusan Muktamar dan Permusyawaratan Lainnya, (Cet.I; Jakarta: Lajnah Taklif  wan Nasyr Pengurus Besar Nahdatul Ulama, 2010), h.86

Tidak ada komentar:

Posting Komentar